Makalah Grief and Bereveament Counselling

MAKALAH

GRIEF AND BEREAVEMENT COUNSELLING

Dosen Pengampu: Drs. Akhmad Baidun, M. Si


 

 

 

 

Disusun oleh:

Ahmad Jatnika Ismat

11170700000048

6D

 

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2020

 

 

 

DAFTAR ISI

 

COVER

KATA PENGANTAR.......................................................................................................... i

DAFTAR ISI........................................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang                 ........................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................... 2

2.1 Loss and Grief in Life................................................................................................ 2

2.2 Grief........................................................................................................................... 2

2.2.1 Pengertian Grief............................................................................................... 2

2.2.2 Phatological Grief............................................................................................ 4

2.2.3 Fase Berduka.................................................................................................... 5

2.2.4 Faktor Penyebab Grief..................................................................................... 6

2.3 Loss............................................................................................................................ 7

2.3.1 Pengertian Loss................................................................................................ 7

2.3.2 Jenis—Jenis Loss............................................................................................. 7

2.3.3 Perspectives on Loss...................................................................................... 11

2.3.4 Sifat-Sifat Loss............................................................................................... 19

BAB III PENUTUP........................................................................................................... 20

3.1 Kesimpulan............................................................................................................... 20

3.2 Saran......................................................................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................ 21

 

 

 


BAB I

PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang

                 Lahir, kehilangan, dan kematian adalah kejadian yang unuiversal dan kejadian yang sifatnya unik bagi setiap individual dalam pengalaman hidup seseorang. Kehilangan dan berduka merupakan istilah yang dalam pandangan umum berarti sesuatu kurang enak atau nyaman untuk dibicarakan. Hal ini dapat disebabkan karena kondisi ini lebih banyak melibatkan emosi dari yang bersangkutan atau disekitarnya.

                 Dalam perkembangan masyarakat dewasa ini, proses kehilangan dan berduka sedikit demi sedikit mulai maju. Dimana individu yang mengalami proses ini ada keinginan untuk mencari bentuan kepada orang lain. Pandangan-pandangan tersebut dapat menjadi dasar bagi seorang psikolog apabila menghadapi kondisi yang demikian.  Pemahaman dan persepsi diri tentang pandangan diperlukan dalam memberikan asuhan psikologi yang komprehensif. Kurang memperhatikan perbedaan persepsi menjurus pada informasi yang salah, sehingga intervensi konseling yang tidak tetap (Suseno, 2004).

                 Psikolog berkerja sama dengan klien yang mengalami berbagai tipe kehilangan. Mekanisme koping mempengaruhi kemampuan seseorang untuk menghadapi dan menerima kehilangan. Psikolog membantu klien untuk memahami dan menerima kehilangan dalam konteks kultur mereka sehingga kehidupan mereka dapat berlanjut. Dalam kultur Barat, ketika klien tidak berupaya melewati duka cita setelah mengalami kehilangan yang sangat besar artinya, maka akan terjadi masalah emosi, mental dan sosial yang serius. Kehilangan dan kematian adalah realitas yang sering terjadi dalam lingkungan asuhan psikologis. Sebagian besar perawat berinteraksi dengan klien dan keluarga yang mengalami kehilangan dan dukacita.

                 Penting bagi psikolog memahami kehilangan dan dukacita. Ketika merawat klien dan keluarga, parawat juga mengalami kehilangan pribadi ketika hubungan klien-kelurga-psikolog berakhir karena perpindahan, pemulangan, penyembuhan atau kematian. Perasaan pribadi, nilai dan pengalaman pribadi mempengaruhi seberapa jauh psikolog dapat mendukung klien dan keluarganya selama kehilangan dan kematian (Potter & Perry, 2005).




BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1    Loss and Grief in Life

               Kehilangan adalah bagian integral dari kehidupan. Itu bukan sesuatu yang terjadi pada kita saat kita hidup; melainkan, itu adalah kehidupan itu sendiri. Kematian bukan satu-satunya kerugian yang mungkin dialami manusia; namun sering kali satu-satunya kerugian yang divalidasi sebagai pengalaman duka yang sah. Dalam pandangan kami, peristiwa apa pun yang melibatkan perubahan adalah kerugian yang mengharuskan proses kesedihan dan transisi. Peristiwa kehilangan mengharuskan beberapa bagian dari individu ditinggalkan dan bersedih sebelum proses transisi dan pembangunan kembali dapat terjadi.

            Kehilangan didefinisikan sebagai keadaan kehilangan atau tanpa sesuatu yang dimiliki seseorang, atau kerugian atau kerugian dari kegagalan untuk mempertahankan, memiliki, atau mendapatkan. Kesedihan adalah rasa sakit dan penderitaan yang dialami setelah kehilangan; berkabung adalah periode waktu di mana tanda-tanda kesedihan ditampilkan; dan berkabung, seperti yang dibahas oleh Raphael (1983), adalah reaksi terhadap hilangnya hubungan dekat.

            Pengalaman berkabung meliputi konsep kesedihan, karena rasa sakit dan penderitaan harus dialami untuk menyembuhkan dan menyelesaikan peristiwa kehilangan. Ini juga mencakup ide-ide reaksi, adaptasi, dan proses. Reaksi melibatkan respons. Orang yang berduka bereaksi secara emosional ketika rasa sakit kesedihan dialami, dan secara bertahap bereaksi secara kognitif dan perilaku ketika identitas baru terbentuk dan kehidupan dibangun kembali. Adaptasi mengacu pada konsep melepaskan apa yang telah hilang, berkompromi, dan secara bertahap menyesuaikan diri dan menerima kehidupan baru. Dan proses melibatkan pengalaman total. Pekerjaan berkabung tidak linier; itu bersifat siklis, dengan banyak pengembalian menyakitkan ke awal untuk memulai proses sekali lagi. Tailspins kembali ke tahap awal kesedihan adalah aspek yang melekat dari pengalaman berkabung.

            Resolusi efektif memerlukan keterlibatan aktif. Kehilangan, kesedihan, dan berkabung melanggar batas-batas pribadi dan menghilangkan rasa aman dan kontrol. Orang yang berduka tidak akan pernah memiliki identitas yang sama seperti sebelumnya. Ia tidak lagi terikat dengan cara yang sama pada seseorang, objek, atau aktivitas yang memberikan rasa aman, makna, atau tujuan. Meskipun ini memiliki potensi untuk menjadi positif dalam hal pertumbuhan, pada awalnya seseorang merasakan rasa kesepian dan ketidakberdayaan. Model-model kehilangan telah berkembang dari waktu ke waktu, termasuk teori-teori keterikatan dan cara-cara untuk membuat konsep pemutusan keterikatan-keterikatan ini. Model saat ini telah beralih dari perhatian dengan hanya mengatasi intervensi yang mendorong pertumbuhan dan aktualisasi diri. Namun, terlepas dari penelitian dan wawasan tentang kondisi manusia ini, kesedihan bagi banyak orang tetap merupakan proses pasif. Kesedihan sering dianggap sebagai sesuatu untuk 'dilewati' dalam periode waktu tertentu. Namun kita akan memahami dalam buku ini bahwa proses menyiratkan lebih dari tugas tetap. Konselor harus terus-menerus menyadari bahwa proses itu melibatkan pencobaan dan kesalahan, perubahan, dan pengembalian frustrasi ke pengalaman duka sebelumnya. Itu menuntut respons aktif untuk mengembalikan rasa kemampuan seseorang untuk mengendalikan lagi. Selain itu, kerugian tidak dapat secara sempit dilihat sebagai satu peristiwa. Setiap kerugian dipengaruhi oleh kerugian masa lalu, dan setiap kerugian akan dipengaruhi oleh kerugian sekunder tambahan yang akan terjadi sebagai akibat dari kerugian saat ini pada waktu proses yang berbeda.

                 Dalam diskusi berikutnya, kita akan mempertimbangkan evolusi model, ditambah kategori kehilangan, dan perspektif yang memengaruhi pengalaman berkabung. Gagasan-gagasan ini menyediakan kerangka kerja untuk penilaian dan intervensi dan akan dirujuk di seluruh buku ini.

2.2    Grief (Berduka)

2.2.1      Pengertian Grief

Dalam Hidayat (2012), grieving (berduka) adalah reaksi emosional dari kehilangan dan terjadi bersamaan dengan kehilangan baik karena perpisahan, perceraian maupun kematian. Sedangkan istilah bereavement adalah keadaan berduka yang ditunjukan selama individu melewati rekasi atau masa berkabung (mourning). Berikut ini beberapa jenis berduka menurut Hidayat (2012):

1.  Berduka normal, terdiri atas perasaan, perilaku, dan reaksi yang normal terhadap kehilangan. Misalnya, kesedihan, kemarahan, menangis, kesepian, dan menarik diri dari aktivitas untuk sementara.

2.   Berduka antisipatif, yaitu proses “melepaskan diri‟ yang muncul sebelum kehilangan atau kematian yang sesungguhnya terjadi. Misalnya, ketika menerima diagnosis terminal, seseorang akan memulai proses perpisahan dan menyelesaikan berbagai urusan di dunia sebelum ajalnya tiba.

3.      Berduka yang rumit, dialami oleh seseorang yang sulit untuk maju ke tahap berikutnya, yaitu tahap kedukaan normal. Masa berkabung seolah-olah tidak kunjung berakhir dan dapat mengancam hubungan orang yang bersangkutan dengan orang lain.

4.  Berduka tertutup, yaitu kedukaan akibat kehilangan yang tidak dapat diakui secara terbuka. Contohnya, kehilangan pasangan karena AIDS, anak yang mengalami kematian orang tua tiri, atau ibu yang kehilangan anaknya di kandungan atau ketika bersalin.

2.2.2      Phatological Grief

            Grief sebenarnya bukan merupakan penyakit namun efek dari grief yang begitu dalam dapat menyebabkan suatu penyakit tertentu, jika grief terus berlangsung seolah masa berkabung tidak kunjung usai, individu dapat mengalami akibat yang lebih serius dalam jangka waktu yang lama. Menurut Atwater dalam lifina (2004) semakin lama penyesuaian grief tertunda, semakin parah sintom yang dialami. Beberapa jenis phatological grief yang dikemukakan adalah:

1.      Delayed grief: merupakan periode grief yang tertunda, dengan periode penundaan yang bervariasi antara berminggu-minggu sampai bertahun-tahun. Grief dapat dinyatakan tertunda jika kemunculannya membutuhkan waktu lebih dari 2 minggu setelah peristiwa kematian

2.      Absent grief: ditunjukan dengan tidak muncul atau tidak adanya ekspresi grief yang umum, pengingkaran (denial) perasaan terhadap kehilangan, tidak ada tanda-tanda fisik dari grieving dan bersikap seolah-olah tidak ada apapun yang terjadai. Hal ini dapat disebabkan oleh hubungan yang tidak disertai kedekatan (attachment) dalam kualitas yang mendalam.

3.      Chronic grief: merupakan periode grief yang berkepanjangan, tidak berakhir dan tidak menunjukan perubahan, disertai dengan depresi, rasa bersalah, dan menyalahkan diri sendiri, ditandai dengan kesedihan, menarik diri, preukupasi berkepanjangan terhadap orang yang sudah meninggal serta disstres yang berkepanjangan dan tidak berkesudahan, selama bertahun-tahun orang yang ditinggalkan menunjukan grief yang intentens dan berkepanjangan seolah-olah grief yang ia alami baru saja terjadi. Hal ini sering terjadi disebabkan bentuk hubungan yang memiliki kelekatan (clinging) dan ketergantungan (dependent). Chronic grief merupakan pola yang umum ditemui pada wanita yang mengalami kematian anak usia remaja karena kematian mendadak dan tidak diperkirakan sebelumnya.

4.      Inhibited grief: digambarkan sebagai orang yang ditinggalkan tidak mampu untuk sepenuhnya membicarakan, menyadari, dan mengekspresikan kehilangan yang dialami, atau berupa respon grief yang terbatas atau partial. Inhibited grief dapat merupakan suatu kontinum dari absent grief yang munculnya disorsi seperti kemarahan atau rasa salah yang berlebihan dengan tidak adanya prilaku grieving lainnya yang signifikan. Hal ini bisa disebabkan oleh adanya sejarah depensi atau ambivalensi dalam hubungan dengan orang yang telah meninggal sehingga memunculkan sindrom seperti conflicated grief atau clinging grief.

5.      Unresolved grief: dapat diekspresikan dalam beberapa bentuk, dari keluhan fisik yang tidak dapat dijelaskan hingga keluhan psikologis. Hal tersebut berhubungan dengan kehilangan yang dialami individu tersebut. Orang yang ditinggalkan mengalami kesulitan bertoleransi dengan hal-hal yang menyakitkan atau tidak adanya kekuatan dalam diri untuk melalui periode tersebut dan menghadapi grief yang dialami. Pada beberapa kasus, grief yang tidak terselesaikan dimunculkan lebih tersamar.

2.2.3      Fase Berduka

            Proses grieving dilalui dalam beberapa tahapan. Turner and Helms dalam lifina (2004) merinci tentang tahapan grief, yakni sebagai berikut:

1.      Denial dari kehilangan yang dialami

2.      Menyadari (realization) kehilangan yang dialami

3.      Timbulnya perasaan ditinggalkan, kehawatiran dan kegelisahan

4.      Keputusasaan, menangis, physical numbness, mental confussion, kebimbingan dan keragu-raguan.

5.      Resstlessnes (yang muncul dari kecemasan), keresahan, kegelisahan, dan imsonia, hilang nafsu makan, lekas marah, menurunnya kontrol diri dan wandering mind.

6.      Keadaan merana (pinning) berupa sakit fisik, dan penderitaan atas grief yang dialami juga usaha mencari benda-benda sebagai kenangkenangan yang mengingatkan pada orang yang meninggal

7.      Kemarahan

8.      Rasa bersalah

9.      Rasa kehilangan atas dirinya sendiri atau merasakan kekosongan secara menyeluruh

10.  Longing, berupa kerinduan dan rasa sakit atas kesepian atau kehampaan yang tidak hilang, bahkan saat bersama dengan orang lain

11.  Identifikasi dengan orang yang telah meninggal dengan meniru beberapa traits, attitudes, atau mannerism dari orang yang telah meninggal

12.  Depresi yang amat dalam, kadangkala disertai keinginan untuk mati

13.  Pemunculan aspek patologis, seperti minor aches dan penyakit ringan dan ditandai dengan kecenderungan terhadap hypochondria, reaksi yang umumnya muncul ialah “siapa yang akan menjaga dan memperhatikan saya sekarang?”

2.2.4      Faktor Penyebab Grief

   Ada beberapa faktor yang menyebabkan grief (Aiken, 1994) yaitu:

1.      Hubungan individu dengan almarhum Yaitu reaksi-reaksi dan rentang waktu masa berduka yang dialami setiap individu akan berbeda tergantung dari hubungan individu dengan almarhum, dari beberapa kasus dapat dilihat hubungan yang sangat baik dengan orang yang telah meninggal diasosiasikan dengan proses grief yang sangat sulit.

2.      Kepribadian, usia, jenis kelamin orang yang ditinggalkan merupakan perbedaan yang mencolok ialah jenis kelamin dan usia orang yang ditinggalkan. Secara umum grief lebih menimbulkan stress pada orang yang usianya lebih muda.

3.      Proses kematian Cara dari seseorang meninggal juga dapat menimbulkan perbedaan reaksi yang dialami orang yang ditinggalkannya. Pada kematian yang mendadak kemampuan orang yang ditinggalkan akan lebih sulit untuk menghadapi kenyataan. Kurangnya dukungan dari orang-orang terdekat dan lingkungan sekitar akan menimbulkan perasaan tidak berdaya dan tidak mempunyai kekuatan, hal tersebut dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam mengatasi grief.

            Mereka yang mengalami kematian orang yang disayangi tentunya membutuhkan waktu untuk dapat melewati grief yang dialami. Bagi orang yang mengamati, tampaknya orang yang ditinggalkan dapat kembali normal setelah beberapa minggu, namun sebenarnya dibutuhkan waktu lebih lama untuk menghadapi masalah-masalah emosional yang dialami selama masa berduka. Proses dan lamanya grief pada masing-masing orang berbeda satu sama lainnya. Setidaknya dibutuhkan waktu satu tahun untuk orang yang berduka dapat bergerak maju dengan kehidupannya tergantung dari faktor yang bersifat individual.

 

2.3    Loss (Kehilangan)

2.3.1      Pengertian Loss

            Loss adalah suatu situasi aktual maupun potensial yang dapat dialami individu ketika berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, baik sebagian atau keseluruhan, atau terjadi perubahan dalam hidup sehingga terjadi perasaan kehilangan (Hidayat, 2012). Loss adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan (Iyus Yosep, 179). Loss merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu dalam rentang kehidupannya. Sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan dan cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda.

            Dapat diambil kesimpulan dari definsi-definisi di atas bahwa Loss adalah sebuah perasaan pada diri individu yang diakibatkan dari peristiwa menjadi tidak adanya suatu hal baik orang atau apapun yang sebelumnya ada. Peristiwa tersebut bisa berupa kematian, perceraian, kecelakaan, bencana alam, PHK, dan lain lain. Kehilangan akibat kematian merupakan kehilangan yang paling berat dan sulit diterima, seperti yang diungkapkan oleh suntrock (2004) kehilangan dapat datang dalam kehidupan dengan berbagai bentuknya seperti perceraian, kehilangan pekerjaan, matinya binatang peliharaan, tetapi tidak ada kehilangan yang lebih besar selain kematian seseorang yang dicintai dan disayangi seperti orang tua, saudara kandung, pasangan hidup, sanak saudara atau teman.

2.3.2      Jenis-Jenis Loss

            Ada beberapa jenis kerugian. Memahami kategori-kategori ini menyediakan kerangka kerja yang mendorong konselor untuk memeriksa dan mengatur efek dari kerugian sebelumnya: untuk memahami signifikansi penuh dari kerugian saat ini, dan untuk mengantisipasi kerugian sekunder atau simbolis yang dapat terjadi sebagai akibat dari kerugian saat ini. Rando (1993) menekankan perlunya menilai dan mengatasi kerugian sekunder dan simbolis. Dia mendefinisikan kerugian ini sebagai kerugian yang timbul sebagai akibat dari kerugian pertama. Penilaian ini tidak dimaksudkan untuk menciptakan situasi yang luar biasa bagi individu yang berduka yang sudah merasa di luar kendali. Tujuannya adalah untuk membantu konselor lebih memahami reaksi dan perilaku mereka saat ini, dan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih akurat tentang apa arti kehilangan ini bagi yang berduka, mengingat pemahaman yang lebih rinci tentang pengalaman kehilangan mereka di masa lalu. Selain itu, dengan mengantisipasi potensi kerugian sekunder, kita dapat mendidik, menyiapkan, dan merencanakan strategi intervensi yang lebih efektif untuk mengatasi dan menyelesaikan kesedihan.

1.      Relationship Loss

Kehilangan hubungan termasuk (di antara banyak kemungkinan) pengalaman kematian orang yang dicintai, sakit, perceraian, perpisahan, pengabaian, penolakan, pelecehan dalam apa yang diharapkan sebagai hubungan saling percaya, bergerak secara geografis dari orang tua atau teman, dan sebagainya. Setiap perubahan dalam suatu hubungan seperti yang pernah kita ketahui, dipersepsikan sebagai, atau mengalaminya, merupakan kehilangan hubungan. Individu mengalami kehilangan dalam hubungan dalam berbagai cara:

·         Saya anak adopsi. Kami kadang-kadang pindah dua kali setahun, setiap tahun yang bisa saya ingat. Saya tidak pernah punya cukup waktu untuk berteman. Saya tidak punya teman dekat untuk curhat. (Laki-laki berusia 18 tahun, setelah upaya bunuh diri)

·         Perceraian itu cukup buruk; tapi kemudian ibu menikah lagi dan kami pindah ke rumah ayah tiriku. Dia punya dua anak yang aku benci. Dia tidak pernah melihat apa yang mereka lakukan; Saya selalu yang bermasalah. Sekarang ibu berpihak padanya. Saya sudah kehilangan dia juga. (Perempuan 15 tahun)

2.      Loss of Some Aspect of Self

   Kita tidak bisa mengalami kehilangan hubungan tanpa kehilangan bagian integral dan rasa siapa kita. Jika ada hubungan, kami telah menginvestasikan sebagian dari diri kami di dalamnya. Siapa yang kita pandang sebagai diri kita berasal dari umpan balik dalam interaksi / dinamika hubungan. Komponen utama dari proses kesedihan adalah melepaskan identitas sebelumnya, mendukakan bagian diri Anda yang hilang selamanya, dan membangun kembali identitas baru. Hilangnya beberapa aspek diri ini tidak hanya terjadi dalam hubungan dengan orang lain, tetapi juga dalam situasi apa pun yang menuntut perubahan identitas pribadi. Selain hal di atas, kehilangan beberapa aspek diri juga dialami dalam pelecehan anak, pemerkosaan, penyakit, perubahan fisik, kehilangan harapan, mimpi, dan perubahan besar dan kekecewaan. Kelelahan profesional dan gangguan profesional adalah kerugian diri yang sangat besar. Kehilangan aspek kemunculan diri dalam berbagai cara:

·         Bersepeda adalah hidupku. Ketika saya tidak bersepeda, saya sedang memperbaiki mobil atau membangun sesuatu. Saya tidak pernah tahan melihat seseorang yang cacat. Sekarang saya harus bergantung pada orang lain untuk mendorong saya di kursi ini. Saya baru saja memulai hidup saya; sekarang itu berakhir. (Lumpuh 26 tahun)

·         Semua yang saya lakukan salah. Saya tidak bisa mempertahankan pekerjaan. Saya tidak bisa mendapatkan kendali dalam hidup saya. Semua yang saya sentuh berubah menjadi kotoran. (Laki-laki berusia 47 tahun yang diberhentikan)

3.      Treasured Objects

   Objek fisik dan berwujud; Namun, kepentingan mereka tidak berwujud. Objek yang direkatkan adalah objek apa pun yang menghubungkan seseorang dalam kenyataan atau ingatan dengan suatu hubungan penting atau beberapa aspek identitas. Seringkali mereka adalah objek yang telah menjadi bagian dari sebuah keluarga selama beberapa generasi, menghubungkan individu itu dengan bagian penting dari masa lalu dan warisannya. Rumah keluarga yang dijual setelah kematian orang tua seringkali merupakan kehilangan koneksi ke masa kecil. Kebakaran dan pencurian seringkali merampas orang-orang dari benda berharga yang memiliki arti penting. Kehilangan gaya hidup adalah kerugian tak berwujud dalam kategori ini, dan sering terjadi setelah kehilangan dalam kategori lain seperti perceraian atau kematian.

   Kematiannya adalah satu hal yang harus dilalui. Saya bahkan tidak ingat pemakamannya. Yang paling sulit adalah menjual kemping. Saya tidak mampu menyimpannya. Saya bahkan tidak tahu cara mengendarainya. Lagi pula, kemana saya akan membawanya? Itu adalah kemping kami dan kami bepergian di sana selama 14 tahun terakhir. Saya merasa seperti kehilangan lebih dari berkemah. (Janda berusia 67 tahun) Saya tahu kami beruntung bisa keluar hidup-hidup; tetapi 23 tahun hidup saya baru saja hilang. Saya tidak memiliki akta kelahiran, SIM, atau kartu jaminan sosial. Seseorang memberi saya dompet untuk digunakan, tetapi saya tidak punya apa-apa untuk dimasukkan. (Wanita 50 tahun, setelah total kehilangan rumah dan harta benda setelah kebakaran).

4.      Developmental losses

   Kehilangan perkembangan adalah bagian alami dari siklus hidup, dan seringkali tidak dapat dikenali. Pertumbuhan, wawasan, dan pematangan adalah kerugian karena perubahan terlibat dan suatu bagian dari diri harus dilepaskan. Jatuh tempo, penuaan, dan perubahan fisik bisa sangat merugikan. Kerugian perkembangan sering bertambah atau membingungkan kerugian yang lebih terlihat. Seorang anak berusia 65 tahun yang posisi kerjanya dihilangkan juga menghadapi masalah perkembangan penuaan dan kemungkinan pensiun.

   Seorang remaja yang 'dibuang' oleh kekasih mungkin juga akan mengalami kerugian yang melekat pada tahap perkembangan itu. Kerugian besar selama masa perkembangan remaja adalah melepaskan cara-cara yang bebas dan menjadi bertanggung jawab. Dan untuk anak-anak yang kehilangan orang lain yang signifikan karena kematian, proses kesedihan dapat merentang tahap perkembangan mereka. Untuk anak-anak, pada setiap tahap perkembangan baru, kehilangan akan dievaluasi kembali dan makna baru akan diintegrasikan. Kerugian perkembangan dapat terjadi dalam berbagai bentuk:

        Selama 20 tahun saya bertanggung jawab atas seluruh departemen. Dalam reorganisasi baru saya adalah bagian dari komite. Saya bahkan tidak punya kantor pribadi lagi. Saya 58. Saya tidak dapat menemukan posisi di tempat lain. Saya merasa terjebak dan terlalu tua untuk melakukan apa pun tentang situasi saya. (Eksekutif wanita berusia 58 tahun) Saya tidak tahu apakah saya bisa mengatasi masalah tumbuh dewasa. Saya sangat stres sekarang. Saya pikir itu hanya akan menjadi lebih buruk karena setelah saya lulus saya harus mendapatkan pekerjaan dan bertanggung jawab untuk mengurus diri sendiri. Jika saya tidak bisa mengatasi stres saat kuliah, bagaimana saya bisa menjadi orang dewasa? (Perempuan 20 tahun).

 

     Kategori kerugian tumpang tindih. Gambar 1.1 berfungsi sebagai alat bantu visual yang memungkinkan konselor untuk mendidik klien tentang kehilangan dalam kehidupan yang mungkin tidak dianggap sebagai kontributor pengalaman duka saat ini. Matriks ini pertama-tama akan digunakan sebagai alat penilaian oleh konselor, karena ia mendengarkan kerugian masa lalu, sekarang, dan potensial di masa depan yang akan mempengaruhi dan berdampak pada masalah kerugian yang muncul. Beberapa sesi dalam proses konseling, kemudian dapat digunakan sebagai alat pendidikan dalam membantu klien untuk merefleksikan kehidupannya dan mendapatkan wawasan tentang sifat kehilangan yang meresap. Contoh kasus di seluruh buku akan menawarkan kemungkinan tambahan.

 

2.3.3      Perspectives on Loss

            Konselor membutuhkan kerangka kerja untuk lebih memahami pengalaman kehilangan dan kesedihan. Kerangka kerja ini menjadi alat holistik yang memungkinkan seseorang untuk mendapatkan akses yang lebih penuh ke dunia kesedihan pribadi klien dan pengalaman uniknya. Harus diingat bahwa tidak ada dua orang yang akan mengalami peristiwa kehilangan yang sama dengan cara yang sama. Kerangka kerja kami terdiri dari beberapa perspektif, termasuk filosofis, spiritual, psikologis, sosiologis / budaya, dan fisik. Penting untuk menyadari berbagai perspektif ini dan bagaimana mereka memengaruhi kerangka referensi dan pengalaman duka klien. Tidak semua perspektif dapat muncul atau relevan pada satu waktu. Namun, beberapa mungkin muncul beberapa kali selama proses dan lebih berpengaruh. Pengaruh yang diberikan dan kontribusi dari setiap perspektif bisa positif atau negatif.

1.      Philosophical perspective

Masalah filosofis selalu menjadi bagian dari pengalaman duka. Bagaimana seseorang hidup dan sebelumnya berinteraksi dengan dunianya tidak lagi masuk akal. Banyak pertanyaan tentang arti keberadaan seseorang muncul. Perhatian pada kategori kehilangan beberapa aspek diri adalah penting di sini. Berapa banyak dari diri yang diinvestasikan yang telah hilang karena peristiwa ini merupakan masalah penting dalam membangun kembali? Apakah individu ini mau dan mampu untuk melihat ke dalam dan menemukan dimensi diri yang baru? Pertanyaan ini menjadi dasar penilaian berkelanjutan dan strategi intervensi selanjutnya. Selain itu, hilangnya beberapa aspek diri juga membawa perhatian pada fakta bahwa kematian menjadi personal dan nyata bagi para penyintas. Seseorang tidak bisa lagi bersembunyi di balik jubah keabadian. Perspektif ini memperkenalkan kesulitan kesendirian, ketidakberartian, keputusasaan, tanggung jawab, dan kecemasan eksistensial. Dari perspektif filosofis, seseorang dapat menganggap setiap peristiwa kehilangan dalam kehidupan sebagai bagian dari proses akhirnya untuk mencapai kefanaan dengan kematian kita sendiri.

Menghindari kesedihan setelah peristiwa kehilangan atau perubahan apa pun dapat dipandang sebagai bagian dari kesulitan yang dihadapi manusia dalam merenungkan isu-isu inti dari keberadaan mereka dan akhirnya kematian. Setiap kerugian melibatkan perubahan dan pelepasan yang perlu diproses. Ahli teori Ernest Becker (1973) menegaskan bahwa manusia dapat hidup lebih penuh dan otentik ketika seseorang menghadapi kenyataan pamungkas ini. Dia mendalilkan bahwa kecemasan yang dialami setelah kehilangan memiliki ketakutan akan kematiannya sendiri pada intinya.

2.      Spiritual perspective

Klien dipengaruhi oleh keyakinan spiritual mereka (atau kurangnya keyakinan mereka). Ketika kategori-kategori kehilangan dieksplorasi dan sejumlah kerugian diidentifikasi, seringkali pengamatan bahwa ranah spiritual adalah satu-satunya jangkar emosional yang tersisa untuk bertahan hidup. Kepercayaan akan akhirat sering kali menjadi alasan untuk melanjutkan dan harapan untuk bersatu kembali dengan orang yang dicintai. Namun, kepercayaan spiritual dan / atau ajaran agama yang terorganisir juga bisa menjadi sumber rasa takut dan bersalah.

Seringkali individu mungkin percaya bahwa kehilangan adalah tanda hukuman dari Tuhan untuk kesalahan yang telah dilakukan. Percaya ini, rasa bersalah tambahan sering dikenakan pada kesedihan, dan yang berduka dapat memiliki kecenderungan untuk melihat diri mereka sebagai buruk dan tidak layak pengampunan atas kesalahan masa lalu. Pemahaman tentang perspektif ini dalam kehidupan klien sangat penting. Selama masa kehilangan, kepercayaan yang bertentangan atau kurangnya spiritualitas dapat menjadi masalah tambahan bagi seorang individu.

Kurangnya spiritualitas memberikan pengaruh yang berbeda. Meskipun rasa bersalah mungkin tidak dialami, sering kali ada perasaan yang lebih mendalam tentang ketidakberartian dan kurangnya tujuan hidup yang dirasakan. Mereka yang tidak percaya pada seseorang atau sesuatu di luar dimensi manusia sering menyatakan penyesalan secara verbal bahwa mereka tidak memiliki apa pun untuk 'bertahan' atau 'jatuh kembali' selama masa kehilangan ini. Banyak yang menyatakan bahwa mereka iri dengan kekuatan dan kenyamanan yang disediakan oleh iman dan harapan bagi mereka yang memiliki rasa koneksi spiritual dan kepercayaan.

Meskipun perspektif filosofis dan spiritual tumpang tindih, ada beberapa perbedaan. Ketika mempertimbangkan perspektif ini, ada lebih banyak fokus pada hubungan individu (atau ketiadaan) dengan Tuhan, makhluk yang lebih tinggi, atau kesadaran kosmik. Afiliasi dengan agama yang terorganisir seharusnya tidak menjadi satu-satunya pertimbangan di sini. Banyak yang menganggap diri mereka religius atau spiritual tetapi tidak berpartisipasi dalam ibadat resmi komunitas. Negara bagian Jackson:

Agama memiliki banyak sisi, tetapi dalam ciptaan kompleks yang merupakan bagian dari kesadaran religius, selalu ada pola yang jelas dalam berusaha berbicara dengan kegelisahan yang mendalam di dalam diri manusia yang tampaknya merupakan kejadian kematiannya ... Kecemasan biasanya muncul ketika ada ancaman terhadap sistem nilai manusia. Agama berusaha untuk menyediakan sistem nilai yang melawan ancaman itu dengan membuat manusia sadar akan dimensi dirinya yang bukan hanya biologis atau kimia atau mekanis, tetapi pada hakikatnya sudah ada unsur yang melampaui kematian dengan selaras dengan yang tak terbatas dan abadi. Ini melakukan hal ini sebagian dengan memperluas perspektif manusia sehingga ketika ia berada dalam kehidupan, ia melihat lebih jauh dari itu. Agama berusaha memberikan kehidupan manusia status kosmis, sehingga, di hadapan hal-hal yang mungkin membuatnya merasa tidak berdaya dan putus asa satu tingkat, ia dapat naik melampaui peristiwa-peristiwa itu sehingga terjadi kematian biologisnya dan ancaman eksistensial terhadap keberadaannya. (1977: 78–9)

Sementara perspektif filosofis membawa pertanyaan dan kecemasan eksistensial ini ke permukaan bagi seorang individu, upaya spiritual untuk memberikan jawaban, arahan, pelipur lara, dan peluang potensial untuk keabadian (yaitu, untuk hidup dalam kehidupan setelah mati).

3.      Psychological perspective

Hilangnya beberapa aspek diri adalah masalah inti untuk dieksplorasi. Jika seseorang telah menginvestasikan sebagian dari identitas dan energinya, ini adalah kerugian yang harus diakui dan didukakan. Termasuk dalam perspektif ini adalah hilangnya atau kompromi dari peran yang berarti. Faktor yang berkontribusi meliputi kepribadian, gaya koping, ranah afektif dan kognitif, pemicu stres saat ini, dan kesehatan mental secara keseluruhan.

Pertimbangan lain dalam perspektif ini adalah gagasan bahwa hubungan tidak diciptakan secara linear. Raphael (1983) membahas karya psikologis dari membatalkan ikatan yang menciptakan hubungan. Dia membahas tugas kehancuran ini sebagai proses integral untuk membalikkan semua yang telah dilakukan untuk membangun hubungan. Banyak lapisan yang diinternalisasikan ke dalam citra multidimensi kompleks atau peran yang dicintai sekarang ditinjau. Apalagi komponen emosional yang membuatnya bernilai (positif) atau menyakitkan (negatif) juga harus ditinjau. Sampai seseorang dapat mengatasi berbagai tingkat keterhubungan, sulit untuk mengatasi tugas dan proses kesedihan yang normal. Contoh pedih dari hal ini adalah kesedihan orang tua setelah kematian seorang anak. Lapisan-lapisan hubungan orangtua seringkali kompleks dan saling bertentangan. Ada beberapa hubungan lain yang menuntut investasi diri seperti itu dan memiliki potensi komplikasi setelah hubungan berakhir. Perlu dicatat pada titik ini bahwa kematian bukan satu-satunya kehilangan yang dapat memutuskan hubungan orangtua. Ketidaksepakatan orang tua dan anak dapat berakhir dalam hubungan yang terputus, sehingga membutuhkan proses kesedihan.

Seorang ibu yang putra dewasanya telah diasingkan darinya selama lebih dari sepuluh tahun hanya bisa mengingat bocah lelaki tak berdosa yang bermain sangat baik dengan yang lain. Dia memikirkan ini kenangan, tidak akan membahas masalah selama masa remajanya, dan hidup untuk hari itu ia pasti akan kembali padanya. Dia mengalami kehilangan yang luar biasa dan perlu meninjau, berduka, dan merekonstruksi setiap aspek dan tahun hubungan mereka dengan hati-hati. Ada lapisan pengalaman dan ingatan yang telah ditolak dan dihindari. Beberapa lapisan terlalu menyakitkan pada saat itu (dan terus berlanjut); dengan demikian, kenangan yang lebih menyenangkan dari masa lalu dipilih dan difokuskan. Namun, kesedihan menuntut agar realitas yang menyakitkan, dihindari ditinjau, didukakan, dan dilepaskan. Tanpa mengambil bagian dalam proses ini, dia tidak dapat secara kognitif dan emosional untuk mengintegrasikan semua aspek hubungan yang akan memfasilitasi penggabungan putranya dalam memori yang sehat, dan mendorong resolusi kesedihannya.

Termasuk dalam perspektif psikologis ini adalah konsep ketahanan. Ketahanan telah didiskusikan sebagai kapasitas manusia dari semua individu untuk berubah dan berubah, apa pun risikonya; itu adalah mekanisme self-righting bawaan (Lifton, 1994). Trauma, kehilangan, kesulitan, dan sejenisnya menghadirkan tantangan besar bagi para penyintas. Steven Wolin, MD dan Sybil Wolin, PhD (1993) menyatakan bahwa masyarakat Amerika beroperasi dari 'model kerusakan' yang cenderung mengubah individu menjadi korban dengan membiarkan mereka memikirkan trauma mereka, daripada pada potensi mereka untuk mengatasi kesulitan untuk membangun kembali kehidupan mereka. Terapi memberikan kesempatan untuk mengevaluasi ketahanan bawaan dan untuk mempromosikan perilaku baru yang dibangun di atas kekuatan yang ada.

Strategi koping adalah inti dari konsep ketahanan dan operasionalisasi proses yang diuraikan dalam DPM. Kerugian besar memungut kemampuan untuk mengatasi secara efektif. Pembahasan DPM menyoroti perubahan dan penyesuaian tambahan yang harus dipelajari oleh orang yang berduka untuk mengatasi selama berkabung dan pemulihan. Stres bukan peristiwa kesatuan dan koping adalah proses yang kompleks. Lazarus dan Folkman mendefinisikan dan menguraikan strategi untuk mengatasi yang efektif. Coping didefinisikan sebagai 'upaya kognitif dan perilaku yang terus berubah untuk mengelola tuntutan eksternal atau internal tertentu' (1984: 141). Tujuan dari coping adalah untuk mengubah masalah yang menyebabkan kesusahan dan untuk mengatur emosi yang tertekan. Dua kategori utama disarankan: fokus masalah dan fokus emosi. Kedua strategi ini bermanfaat dan perlu digunakan secara bergantian sejak awal acara hingga resolusi.

Pendekatan yang berfokus pada masalah memanfaatkan strategi perilaku-kognitif dan melibatkan pengambilan tindakan untuk menyelesaikan situasi yang sulit. Ketika strategi berhasil, ada perasaan baru tentang locus of control internal dan self-efficacy. Strategi komplementer, yang berfokus pada emosi, berkonsentrasi pada cara-cara untuk mengurangi emosi yang kuat dan negatif. Pelepasan emosi yang sehat dan mencari dukungan emosional dari orang lain memberikan kelonggaran dari situasi yang menyedihkan dan kesempatan untuk membangun kembali sumber daya internal. Pengampunan, sebagai konsep psikologis, sering merupakan bagian integral dari proses kesedihan dan komponen kunci dalam pengembangan ketahanan.

Tanpa kemampuan untuk secara emosional melepaskan ketidakadilan yang dirasakan dan nyata, orang tetap menjadi korban dan tidak dapat menyelesaikan kehilangan mereka dan merekonstruksi kebermaknaan dalam hidup mereka. Sifat beberapa kerugian sering membuat para korban selamat dengan emosi negatif yang kuat dan pengalaman dilanggar. Sebelum awal 1900-an, konsep pengampunan telah dibahas dengan baik di bidang filsafat dan agama, tetapi tidak dalam psikologi. Saat ini, tidak ada konsensus untuk definisi tersebut. Meskipun kurangnya kesepakatan ini, Thoresen et al. menawarkan definisi kerja tentang pengampunan untuk dipertimbangkan:

Pengampunan interpersonal dapat dilihat sebagai keputusan untuk mengurangi pikiran negatif, mempengaruhi, dan perilaku, seperti menyalahkan dan marah, terhadap pelaku atau situasi yang menyakitkan, dan mulai mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang pelanggaran dan pelaku. Pilihan untuk melepaskan pengaruh negatif, kognisi, dan perilaku biasanya dapat terjadi pada fase awal proses pengampunan, namun berbagai hasil dari pengampunan, seperti berkurangnya kemarahan dan kesalahan, mungkin tidak terjadi selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau mungkin bertahun-tahun. Lebih jauh, pelaku tidak diharuskan dalam perspektif pengampunan ini untuk mengakui pelanggaran, mencari pengampunan, atau melakukan penggantian kerugian. (2000: 255–6).

Memfasilitasi pengampunan dalam proses duka memungkinkan para penyintas untuk menafsirkan kembali dan membingkai ulang pengalaman negatif masa lalu dan saat ini untuk mengidentifikasi kekuatan internal yang sudah ada sebelumnya yang akan mempromosikan rasa pemberdayaan pribadi dalam menghadapi kesulitan saat ini. Augsburger (1981) mengemukakan bahwa akar makna kata pengampunan menyiratkan suatu proses melepaskan. Melepaskan bisa dilihat sebagai perjalanan (mirip dengan kesedihan) yang melibatkan langkah-langkah tambahan yang mengharuskan bekerja secara otentik melalui kemarahan, kesedihan, pengkhianatan, dan kehilangan kepercayaan untuk secara bertahap melepaskan kepahitan dan permusuhan.

4.      Sociological/cultural perspective

Perspektif ini sangat memengaruhi bagaimana seseorang berduka atau gagal bersedih, dan mencakup dampak yang ditimbulkan budaya seseorang terhadap yang berkabung. Aculture / masyarakat menetapkan norma-norma, banyak di antaranya tidak terucapkan tetapi memberikan tekanan halus (atau tidak terlalu halus) untuk kesesuaian dan resep untuk sistem dan perilaku kepercayaan. Hari ini kita dipengaruhi oleh budaya masa lalu dan sekarang, dan ketika kita melihat abad baru, ada bukti pergeseran ideologis dan beberapa kembali ke kepercayaan dan perilaku sebelumnya. Ada pendapat yang berkembang bahwa penekanan masa lalu pada rasionalitas ilmiah untuk jawaban di abad ini telah menciptakan masalah baru yang membutuhkan solusi baru. Dalam bidang kehilangan dan kesedihan, ada kesadaran yang berkembang tentang perlunya sistem pendukung, penekanan baru pada spiritualitas (pandangan yang terutama dipegang dari sudut pandang agama fundamentalis), dan kembali ke penggunaan ritual selama masa-masa kehilangan dan transisi.

Dalam perspektif sosiologis / budaya, penting juga untuk mempertimbangkan keluarga inti, keluarga asal, sistem pendukung (nyata dan dipersepsikan), etnis, status sosial ekonomi, jenis kelamin, agama, dan variabel lain yang penting bagi budaya dan kerangka seseorang. referensi. Individu akan selalu merujuk pada faktor-faktor ini untuk memahami pengalaman kehilangan. Selain itu, seringkali kurangnya sistem pendukung dan hilangnya ritual agama dan etnis yang menimbulkan masalah saat ini untuk penyelesaian kesedihan. Di masa lalu, latar belakang budaya bersama sering kali menyediakan lingkungan yang tidak hanya menetapkan ritual berkabung, tetapi juga memupuk proses kesedihan dalam komunitas keluarga dan teman yang dekat secara emosional. Masyarakat yang berubah telah mengubah susunan komunitas ini. Individu dapat secara kognitif merujuk ke akar mereka; Namun, dari sudut pandang perilaku, ada sedikit kesempatan untuk memberlakukan ritual tradisional tanpa ketersediaan keluarga besar atau budaya latar belakang.

Terakhir, masyarakat menjadi multikultural. Ini adalah faktor yang mungkin memerlukan pendidikan tambahan bagi konselor untuk memahami dunia klien dan menjadi efektif dalam proses. Masalah multikultural adalah bagian yang melekat dari pengalaman banyak klien tentang kehilangan dan kesedihan, dan sering dinegasikan atau dicabut haknya oleh konselor yang tidak tanggap. Pelatihan konselor, di masa lalu, telah mencerminkan norma-norma masyarakat dominan; diagnosis sering dipengaruhi oleh resep sosial dan budaya masyarakat itu.

 

 

5.      Physical perspective

Perspektif ini mencakup semua aspek biologi, fisiologi, farmakologi, dan fungsi umum individu yang berduka. Dari perspektif medis, Engel (1961) mengusulkan bahwa kehilangan dan resolusinya merupakan aspek integral dari keseimbangan homeostatis. Dia memandang proses kesedihan sebagai paralel dengan proses yang diperlukan untuk penyembuhan setelah penyakit fisik. Engel tidak membuat patologi kesedihan. Ia memandangnya sebagai fungsi normal yang membutuhkan waktu dan perhatian, dengan fokus berbeda pada tugas-tugas emosional yang sulit. Kesedihan juga bisa menutupi dirinya dalam keluhan somatik. Itu selalu penting untuk mengesampingkan masalah fisik, tetapi yang berduka tidak akan berhasil jika mereka mencoba untuk menemukan jawaban dan solusi hanya melalui diagnosis fisik dan pengobatan.

Studi kasus berikut adalah klien yang awalnya datang untuk konseling empat bulan setelah suaminya bunuh diri. Pada saat itu tujuannya untuk konseling adalah kesejahteraan ketiga putranya. Dia fokus pada aspek pemulihan hidup mereka. Selain itu, dia telah berurusan dengan penyakit kronis selama lebih dari 12 tahun. Tuntutan penyakit dan keprihatinannya terhadap keluarganya membuatnya tidak menyadari dampak kesedihan pada hidupnya selama lima tahun terakhir. Perjalanannya dalam konseling menggambarkan seorang wanita yang ulet, yang tidak pernah menyadari kekuatan dan kemampuan batinnya. Studi kasus menggambarkan proses yang dijelaskan dalam DPM, rekonstruksi makna, dan perspektif psikologis; yang semuanya memberikan peluang untuk strategi intervensi yang efektif.

 

2.3.4      Sifat-Sifat Loss

1.     Tiba-tiba (tidak dapat diramalkan)

Kehilangan secara tiba-tiba dan tidak diharapkan dapat mengarah pada pemulihan dukacita yang lambat. Kematian karena tindak kekerasan, bunuh diri, pembunuhan atau pelalaian diri akan sulit diterima.

2.     Berangsur-angsur (dapat Diramalkan)

Penyakit yang sangat menyulitkan, berkepanjangan, dan menyebabkan yang ditinggalkan mengalami keletihan emosional (Rando, 1984)



BAB III

PENUTUP

 

3.3    Kesimpulan

            Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa hehilangan dapat didefinisikan sebagai keadaan kehilangan atau tanpa sesuatu yang dimiliki seseorang, atau kerugian atau kerugian dari kegagalan untuk mempertahankan, memiliki, atau mendapatkan. Kesedihan adalah rasa sakit dan penderitaan yang dialami setelah kehilangan; berkabung adalah periode waktu di mana tanda-tanda kesedihan ditampilkan; dan berkabung, seperti yang dibahas oleh Raphael (1983), adalah reaksi terhadap hilangnya hubungan dekat.

            Dalam Hidayat (2012), grieving (berduka) adalah reaksi emosional dari kehilangan dan terjadi bersamaan dengan kehilangan baik karena perpisahan, perceraian maupun kematian. Sedangkan istilah bereavement adalah keadaan berduka yang ditunjukan selama individu melewati rekasi atau masa berkabung (mourning).

3.2    Saran

                 Sebagai pemakalah saya menyarankan kepada setiap individu yang mengalami grief diharapkan mampu memulai kehidupan yang lebih baik dengan melalui semua tahapan grief dengan baik, dan bagi yang belum bisa keluar dari tahap recovery diharapkan agar bisa segera belajar menghilangkan trauma yang dirasakan supaya bisa kembali pada hidup yang normal.

                 Diharapakan dalam tulisan ini nantinya bisa digunakan sebagai pijakan untuk penulisan bahkan penelitan selajutnya dan diharapkan bagi pembaca dan khususnya bagi penulis sendiri bisa bermanfaat untuk diamalkan di kehidupan sehari-hari.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Widiarti, D & Baidun, A. (2016)Pengaruh Modal Psikologis, Komitmen Organisasi dan Iklim Psikologis terhadap Kesiapan dalam Menghadapi Perubahan. TAZKIYA Journal of Psychology Vol. 4 No. 1: 89 – 102.

Humphrey, Geraldine M. & David G. Zimpfer. (2008). Counselling for Grief and Bereavement. London: SAGE Publications.

Sari, Rosi Anita. (2015). Pengalaman Kehilangan (Loss) Dan Berduka (Grief) Pada Ibu Preeklampsi Yang Kehilangan Bayinya. Skripsi. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Ana, Iin Nuri. (2011). Hubungan Antar Kehilangan Dengan Tingkat Depresi Pada Pengungsi Merapi dari Kecamatan Cangkringan Di Pengusian Sleman Yogyakarta. Skrpsi. Yogyakarta: Studi Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan ‘Aisyiyah.

Fitria, Adina S. (2013). Grief Pada Remaja Akibat Kematian Orang Tua Secara Mendadak. Skripsi. Semarang: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang.

 

 

 


Komentar