Makalah Grief and Bereveament Counselling
MAKALAH
GRIEF AND BEREAVEMENT COUNSELLING
Dosen Pengampu:
Drs. Akhmad Baidun, M. Si
Disusun oleh:
Ahmad
Jatnika Ismat
11170700000048
6D
FAKULTAS
PSIKOLOGI
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2020
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR..........................................................................................................
i
DAFTAR ISI........................................................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................
1
1.1 Latar Belakang ...........................................................................................
1
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................
2
2.1 Loss and Grief
in Life................................................................................................
2
2.2 Grief...........................................................................................................................
2
2.2.1
Pengertian Grief...............................................................................................
2
2.2.2
Phatological Grief............................................................................................
4
2.2.3 Fase
Berduka....................................................................................................
5
2.2.4 Faktor
Penyebab Grief..................................................................................... 6
2.3
Loss............................................................................................................................
7
2.3.1 Pengertian Loss................................................................................................
7
2.3.2 Jenis—Jenis Loss.............................................................................................
7
2.3.3 Perspectives
on Loss......................................................................................
11
2.3.4
Sifat-Sifat Loss...............................................................................................
19
BAB III PENUTUP...........................................................................................................
20
3.1 Kesimpulan...............................................................................................................
20
3.2 Saran.........................................................................................................................
20
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................
21
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Lahir,
kehilangan, dan kematian adalah kejadian yang unuiversal dan kejadian yang
sifatnya unik bagi setiap individual dalam pengalaman hidup seseorang. Kehilangan
dan berduka merupakan istilah yang dalam pandangan umum berarti sesuatu kurang
enak atau nyaman untuk dibicarakan. Hal ini dapat disebabkan karena kondisi ini
lebih banyak melibatkan emosi dari yang bersangkutan atau disekitarnya.
Dalam
perkembangan masyarakat dewasa ini, proses kehilangan dan berduka sedikit demi
sedikit mulai maju. Dimana individu yang mengalami proses ini ada keinginan
untuk mencari bentuan kepada orang lain. Pandangan-pandangan tersebut dapat
menjadi dasar bagi seorang psikolog apabila menghadapi kondisi yang demikian.
Pemahaman dan persepsi diri tentang pandangan diperlukan dalam memberikan
asuhan psikologi yang komprehensif. Kurang memperhatikan perbedaan persepsi
menjurus pada informasi yang salah, sehingga intervensi konseling yang tidak
tetap (Suseno, 2004).
Psikolog
berkerja sama dengan klien yang mengalami berbagai tipe kehilangan. Mekanisme
koping mempengaruhi kemampuan seseorang untuk menghadapi dan menerima
kehilangan. Psikolog membantu klien untuk memahami dan menerima kehilangan
dalam konteks kultur mereka sehingga kehidupan mereka dapat berlanjut. Dalam
kultur Barat, ketika klien tidak berupaya melewati duka cita setelah mengalami
kehilangan yang sangat besar artinya, maka akan terjadi masalah emosi, mental
dan sosial yang serius. Kehilangan dan kematian adalah realitas yang sering
terjadi dalam lingkungan asuhan psikologis. Sebagian besar perawat berinteraksi
dengan klien dan keluarga yang mengalami kehilangan dan dukacita.
Penting
bagi psikolog memahami kehilangan dan dukacita. Ketika merawat klien dan
keluarga, parawat juga mengalami kehilangan pribadi ketika hubungan
klien-kelurga-psikolog berakhir karena perpindahan, pemulangan, penyembuhan
atau kematian. Perasaan pribadi, nilai dan pengalaman pribadi mempengaruhi
seberapa jauh psikolog dapat mendukung klien dan keluarganya selama kehilangan
dan kematian (Potter & Perry, 2005).
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Loss
and Grief in Life
Kehilangan
adalah bagian integral dari kehidupan. Itu bukan sesuatu yang terjadi pada kita
saat kita hidup; melainkan, itu adalah kehidupan itu sendiri. Kematian bukan
satu-satunya kerugian yang mungkin dialami manusia; namun sering kali
satu-satunya kerugian yang divalidasi sebagai pengalaman duka yang sah. Dalam
pandangan kami, peristiwa apa pun yang melibatkan perubahan adalah kerugian
yang mengharuskan proses kesedihan dan transisi. Peristiwa kehilangan
mengharuskan beberapa bagian dari individu ditinggalkan dan bersedih sebelum
proses transisi dan pembangunan kembali dapat terjadi.
Kehilangan didefinisikan sebagai
keadaan kehilangan atau tanpa sesuatu yang dimiliki seseorang, atau kerugian
atau kerugian dari kegagalan untuk mempertahankan, memiliki, atau mendapatkan.
Kesedihan adalah rasa sakit dan penderitaan yang dialami setelah kehilangan;
berkabung adalah periode waktu di mana tanda-tanda kesedihan ditampilkan; dan
berkabung, seperti yang dibahas oleh Raphael (1983), adalah reaksi terhadap
hilangnya hubungan dekat.
Pengalaman berkabung meliputi konsep
kesedihan, karena rasa sakit dan penderitaan harus dialami untuk menyembuhkan
dan menyelesaikan peristiwa kehilangan. Ini juga mencakup ide-ide reaksi,
adaptasi, dan proses. Reaksi melibatkan respons. Orang yang berduka bereaksi
secara emosional ketika rasa sakit kesedihan dialami, dan secara bertahap
bereaksi secara kognitif dan perilaku ketika identitas baru terbentuk dan
kehidupan dibangun kembali. Adaptasi mengacu pada konsep melepaskan apa yang
telah hilang, berkompromi, dan secara bertahap menyesuaikan diri dan menerima
kehidupan baru. Dan proses melibatkan pengalaman total. Pekerjaan berkabung
tidak linier; itu bersifat siklis, dengan banyak pengembalian menyakitkan ke
awal untuk memulai proses sekali lagi. Tailspins kembali ke tahap awal
kesedihan adalah aspek yang melekat dari pengalaman berkabung.
Resolusi efektif memerlukan keterlibatan
aktif. Kehilangan, kesedihan, dan berkabung melanggar batas-batas pribadi dan
menghilangkan rasa aman dan kontrol. Orang yang berduka tidak akan pernah
memiliki identitas yang sama seperti sebelumnya. Ia tidak lagi terikat dengan
cara yang sama pada seseorang, objek, atau aktivitas yang memberikan rasa aman,
makna, atau tujuan. Meskipun ini memiliki potensi untuk menjadi positif dalam
hal pertumbuhan, pada awalnya seseorang merasakan rasa kesepian dan
ketidakberdayaan. Model-model kehilangan telah berkembang dari waktu ke waktu,
termasuk teori-teori keterikatan dan cara-cara untuk membuat konsep pemutusan
keterikatan-keterikatan ini. Model saat ini telah beralih dari perhatian dengan
hanya mengatasi intervensi yang mendorong pertumbuhan dan aktualisasi diri.
Namun, terlepas dari penelitian dan wawasan tentang kondisi manusia ini,
kesedihan bagi banyak orang tetap merupakan proses pasif. Kesedihan sering
dianggap sebagai sesuatu untuk 'dilewati' dalam periode waktu tertentu. Namun
kita akan memahami dalam buku ini bahwa proses menyiratkan lebih dari tugas
tetap. Konselor harus terus-menerus menyadari bahwa proses itu melibatkan
pencobaan dan kesalahan, perubahan, dan pengembalian frustrasi ke pengalaman
duka sebelumnya. Itu menuntut respons aktif untuk mengembalikan rasa kemampuan
seseorang untuk mengendalikan lagi. Selain itu, kerugian tidak dapat secara
sempit dilihat sebagai satu peristiwa. Setiap kerugian dipengaruhi oleh
kerugian masa lalu, dan setiap kerugian akan dipengaruhi oleh kerugian sekunder
tambahan yang akan terjadi sebagai akibat dari kerugian saat ini pada waktu
proses yang berbeda.
Dalam
diskusi berikutnya, kita akan mempertimbangkan evolusi model, ditambah kategori
kehilangan, dan perspektif yang memengaruhi pengalaman berkabung. Gagasan-gagasan
ini menyediakan kerangka kerja untuk penilaian dan intervensi dan akan dirujuk
di seluruh buku ini.
2.2
Grief (Berduka)
2.2.1
Pengertian
Grief
Dalam
Hidayat (2012), grieving (berduka)
adalah reaksi emosional dari kehilangan dan terjadi bersamaan dengan kehilangan
baik karena perpisahan, perceraian maupun kematian. Sedangkan istilah bereavement adalah keadaan berduka yang
ditunjukan selama individu melewati rekasi atau masa berkabung (mourning). Berikut ini beberapa jenis
berduka menurut Hidayat (2012):
1. Berduka normal,
terdiri atas perasaan, perilaku, dan reaksi yang normal terhadap kehilangan.
Misalnya, kesedihan, kemarahan, menangis, kesepian, dan menarik diri dari
aktivitas untuk sementara.
2. Berduka
antisipatif, yaitu proses “melepaskan diri‟ yang muncul sebelum kehilangan atau
kematian yang sesungguhnya terjadi. Misalnya, ketika menerima diagnosis
terminal, seseorang akan memulai proses perpisahan dan menyelesaikan berbagai urusan
di dunia sebelum ajalnya tiba.
3.
Berduka yang
rumit, dialami oleh seseorang yang sulit untuk maju ke tahap berikutnya, yaitu
tahap kedukaan normal. Masa berkabung seolah-olah tidak kunjung berakhir dan
dapat mengancam hubungan orang yang bersangkutan dengan orang lain.
4. Berduka tertutup,
yaitu kedukaan akibat kehilangan yang tidak dapat diakui secara terbuka.
Contohnya, kehilangan pasangan karena AIDS, anak yang mengalami kematian orang
tua tiri, atau ibu yang kehilangan anaknya di kandungan atau ketika bersalin.
2.2.2
Phatological Grief
Grief
sebenarnya bukan merupakan penyakit namun efek dari grief yang begitu dalam dapat menyebabkan suatu penyakit tertentu,
jika grief terus berlangsung seolah
masa berkabung tidak kunjung usai, individu dapat mengalami akibat yang lebih
serius dalam jangka waktu yang lama. Menurut Atwater dalam lifina (2004)
semakin lama penyesuaian grief
tertunda, semakin parah sintom yang dialami. Beberapa jenis phatological grief yang dikemukakan adalah:
1.
Delayed
grief: merupakan periode grief yang tertunda, dengan periode penundaan yang bervariasi
antara berminggu-minggu sampai bertahun-tahun. Grief dapat dinyatakan tertunda jika kemunculannya membutuhkan
waktu lebih dari 2 minggu setelah peristiwa kematian
2.
Absent
grief: ditunjukan dengan tidak muncul atau tidak adanya
ekspresi grief yang umum,
pengingkaran (denial) perasaan terhadap kehilangan, tidak ada tanda-tanda fisik
dari grieving dan bersikap seolah-olah
tidak ada apapun yang terjadai. Hal ini dapat disebabkan oleh hubungan yang
tidak disertai kedekatan (attachment) dalam kualitas yang mendalam.
3.
Chronic
grief: merupakan periode grief yang berkepanjangan, tidak berakhir dan tidak menunjukan
perubahan, disertai dengan depresi, rasa
bersalah, dan menyalahkan diri sendiri, ditandai dengan kesedihan, menarik
diri, preukupasi berkepanjangan terhadap orang yang sudah meninggal serta
disstres yang berkepanjangan dan tidak berkesudahan, selama bertahun-tahun
orang yang ditinggalkan menunjukan grief
yang intentens dan berkepanjangan seolah-olah grief yang ia alami baru saja terjadi. Hal ini sering terjadi
disebabkan bentuk hubungan yang memiliki kelekatan (clinging) dan
ketergantungan (dependent). Chronic grief
merupakan pola yang umum ditemui pada wanita yang mengalami kematian anak usia
remaja karena kematian mendadak dan tidak diperkirakan sebelumnya.
4.
Inhibited grief: digambarkan sebagai orang yang
ditinggalkan tidak mampu untuk sepenuhnya membicarakan, menyadari, dan
mengekspresikan kehilangan yang dialami, atau berupa respon grief yang terbatas atau partial.
Inhibited grief dapat merupakan suatu
kontinum dari absent grief yang
munculnya disorsi seperti kemarahan atau rasa salah yang berlebihan dengan
tidak adanya prilaku grieving lainnya yang signifikan. Hal ini bisa disebabkan
oleh adanya sejarah depensi atau ambivalensi dalam hubungan dengan orang yang
telah meninggal sehingga memunculkan sindrom seperti conflicated grief atau clinging grief.
5.
Unresolved
grief: dapat diekspresikan dalam beberapa bentuk, dari
keluhan fisik yang tidak dapat dijelaskan hingga keluhan psikologis. Hal
tersebut berhubungan dengan kehilangan yang dialami individu tersebut. Orang
yang ditinggalkan mengalami kesulitan bertoleransi dengan hal-hal yang
menyakitkan atau tidak adanya kekuatan dalam diri untuk melalui periode
tersebut dan menghadapi grief yang
dialami. Pada beberapa kasus, grief
yang tidak terselesaikan dimunculkan lebih tersamar.
2.2.3
Fase Berduka
Proses
grieving dilalui dalam beberapa
tahapan. Turner and Helms dalam lifina (2004) merinci tentang tahapan grief, yakni sebagai berikut:
1.
Denial dari kehilangan yang dialami
2.
Menyadari (realization) kehilangan yang dialami
3.
Timbulnya perasaan ditinggalkan,
kehawatiran dan kegelisahan
4.
Keputusasaan, menangis, physical numbness, mental confussion,
kebimbingan dan keragu-raguan.
5.
Resstlessnes
(yang muncul dari kecemasan), keresahan, kegelisahan, dan imsonia, hilang nafsu
makan, lekas marah, menurunnya kontrol diri dan wandering mind.
6.
Keadaan merana (pinning) berupa sakit fisik, dan penderitaan atas grief yang dialami juga usaha mencari
benda-benda sebagai kenangkenangan yang mengingatkan pada orang yang meninggal
7.
Kemarahan
8.
Rasa bersalah
9.
Rasa kehilangan atas dirinya sendiri atau
merasakan kekosongan secara menyeluruh
10.
Longing,
berupa kerinduan dan rasa sakit atas kesepian atau kehampaan yang tidak hilang,
bahkan saat bersama dengan orang lain
11.
Identifikasi dengan orang yang telah
meninggal dengan meniru beberapa traits,
attitudes, atau mannerism dari
orang yang telah meninggal
12.
Depresi yang amat dalam, kadangkala
disertai keinginan untuk mati
13.
Pemunculan aspek patologis, seperti minor
aches dan penyakit ringan dan ditandai dengan kecenderungan terhadap
hypochondria, reaksi yang umumnya muncul ialah “siapa yang akan menjaga dan memperhatikan
saya sekarang?”
2.2.4
Faktor Penyebab Grief
Ada
beberapa faktor yang menyebabkan grief
(Aiken, 1994) yaitu:
1.
Hubungan individu dengan almarhum Yaitu
reaksi-reaksi dan rentang waktu masa berduka yang dialami setiap individu akan
berbeda tergantung dari hubungan individu dengan almarhum, dari beberapa kasus
dapat dilihat hubungan yang sangat baik dengan orang yang telah meninggal
diasosiasikan dengan proses grief
yang sangat sulit.
2.
Kepribadian, usia, jenis kelamin orang
yang ditinggalkan merupakan perbedaan yang mencolok ialah jenis kelamin dan
usia orang yang ditinggalkan. Secara umum grief
lebih menimbulkan stress pada orang yang usianya lebih muda.
3.
Proses kematian Cara dari seseorang
meninggal juga dapat menimbulkan perbedaan reaksi yang dialami orang yang
ditinggalkannya. Pada kematian yang mendadak kemampuan orang yang ditinggalkan
akan lebih sulit untuk menghadapi kenyataan. Kurangnya dukungan dari
orang-orang terdekat dan lingkungan sekitar akan menimbulkan perasaan tidak
berdaya dan tidak mempunyai kekuatan, hal tersebut dapat mempengaruhi kemampuan
seseorang dalam mengatasi grief.
Mereka
yang mengalami kematian orang yang disayangi tentunya membutuhkan waktu untuk
dapat melewati grief
yang dialami. Bagi orang yang mengamati, tampaknya orang yang ditinggalkan
dapat kembali normal setelah beberapa minggu, namun sebenarnya dibutuhkan waktu
lebih lama untuk menghadapi masalah-masalah emosional yang dialami selama masa
berduka. Proses dan lamanya grief
pada masing-masing orang berbeda satu sama lainnya. Setidaknya dibutuhkan waktu
satu tahun untuk orang yang berduka dapat bergerak maju dengan kehidupannya
tergantung dari faktor yang bersifat individual.
2.3
Loss (Kehilangan)
2.3.1
Pengertian Loss
Loss
adalah suatu situasi aktual maupun potensial yang dapat dialami individu ketika
berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, baik sebagian atau keseluruhan,
atau terjadi perubahan dalam hidup sehingga terjadi perasaan kehilangan
(Hidayat, 2012). Loss adalah suatu
keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian
menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan (Iyus Yosep, 179). Loss merupakan pengalaman yang pernah
dialami oleh setiap individu dalam rentang kehidupannya. Sejak lahir individu
sudah mengalami kehilangan dan cenderung akan mengalaminya kembali walaupun
dalam bentuk yang berbeda.
Dapat diambil kesimpulan
dari definsi-definisi di atas bahwa Loss
adalah sebuah perasaan pada diri individu yang diakibatkan dari peristiwa
menjadi tidak adanya suatu hal baik orang atau apapun yang sebelumnya ada.
Peristiwa tersebut bisa berupa kematian, perceraian, kecelakaan, bencana alam,
PHK, dan lain lain. Kehilangan akibat kematian merupakan kehilangan yang paling
berat dan sulit diterima, seperti yang diungkapkan oleh suntrock (2004)
kehilangan dapat datang dalam kehidupan dengan berbagai bentuknya seperti
perceraian, kehilangan pekerjaan, matinya binatang peliharaan, tetapi tidak ada
kehilangan yang lebih besar selain kematian seseorang yang dicintai dan
disayangi seperti orang tua, saudara kandung, pasangan hidup, sanak saudara
atau teman.
2.3.2
Jenis-Jenis Loss
Ada
beberapa jenis kerugian. Memahami kategori-kategori ini menyediakan kerangka
kerja yang mendorong konselor untuk memeriksa dan mengatur efek dari kerugian
sebelumnya: untuk memahami signifikansi penuh dari kerugian saat ini, dan untuk
mengantisipasi kerugian sekunder atau simbolis yang dapat terjadi sebagai
akibat dari kerugian saat ini. Rando (1993) menekankan perlunya menilai dan
mengatasi kerugian sekunder dan simbolis. Dia mendefinisikan kerugian ini
sebagai kerugian yang timbul sebagai akibat dari kerugian pertama. Penilaian
ini tidak dimaksudkan untuk menciptakan situasi yang luar biasa bagi individu
yang berduka yang sudah merasa di luar kendali. Tujuannya adalah untuk membantu
konselor lebih memahami reaksi dan perilaku mereka saat ini, dan untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih akurat tentang apa arti kehilangan ini bagi
yang berduka, mengingat pemahaman yang lebih rinci tentang pengalaman
kehilangan mereka di masa lalu. Selain itu, dengan mengantisipasi potensi
kerugian sekunder, kita dapat mendidik, menyiapkan, dan merencanakan strategi
intervensi yang lebih efektif untuk mengatasi dan menyelesaikan kesedihan.
1. Relationship Loss
Kehilangan hubungan
termasuk (di antara banyak kemungkinan) pengalaman kematian orang yang
dicintai, sakit, perceraian, perpisahan, pengabaian, penolakan, pelecehan dalam
apa yang diharapkan sebagai hubungan saling percaya, bergerak secara geografis
dari orang tua atau teman, dan sebagainya. Setiap perubahan dalam suatu
hubungan seperti yang pernah kita ketahui, dipersepsikan sebagai, atau
mengalaminya, merupakan kehilangan hubungan. Individu mengalami kehilangan
dalam hubungan dalam berbagai cara:
·
Saya anak adopsi. Kami
kadang-kadang pindah dua kali setahun, setiap tahun yang bisa saya ingat. Saya
tidak pernah punya cukup waktu untuk berteman. Saya tidak punya teman dekat
untuk curhat. (Laki-laki berusia 18 tahun, setelah upaya bunuh diri)
·
Perceraian itu cukup
buruk; tapi kemudian ibu menikah lagi dan kami pindah ke rumah ayah tiriku. Dia
punya dua anak yang aku benci. Dia tidak pernah melihat apa yang mereka
lakukan; Saya selalu yang bermasalah. Sekarang ibu berpihak padanya. Saya sudah
kehilangan dia juga. (Perempuan 15 tahun)
2. Loss of Some Aspect of Self
Kita
tidak bisa mengalami kehilangan hubungan tanpa kehilangan bagian integral dan
rasa siapa kita. Jika ada hubungan, kami telah menginvestasikan sebagian dari
diri kami di dalamnya. Siapa yang kita pandang sebagai diri kita berasal dari
umpan balik dalam interaksi / dinamika hubungan. Komponen utama dari proses
kesedihan adalah melepaskan identitas sebelumnya, mendukakan bagian diri Anda
yang hilang selamanya, dan membangun kembali identitas baru. Hilangnya beberapa
aspek diri ini tidak hanya terjadi dalam hubungan dengan orang lain, tetapi
juga dalam situasi apa pun yang menuntut perubahan identitas pribadi. Selain
hal di atas, kehilangan beberapa aspek diri juga dialami dalam pelecehan anak,
pemerkosaan, penyakit, perubahan fisik, kehilangan harapan, mimpi, dan
perubahan besar dan kekecewaan. Kelelahan profesional dan gangguan profesional
adalah kerugian diri yang sangat besar. Kehilangan aspek kemunculan diri dalam
berbagai cara:
·
Bersepeda adalah hidupku.
Ketika saya tidak bersepeda, saya sedang memperbaiki mobil atau membangun
sesuatu. Saya tidak pernah tahan melihat seseorang yang cacat. Sekarang saya
harus bergantung pada orang lain untuk mendorong saya di kursi ini. Saya baru
saja memulai hidup saya; sekarang itu berakhir. (Lumpuh 26 tahun)
·
Semua yang saya lakukan
salah. Saya tidak bisa mempertahankan pekerjaan. Saya tidak bisa mendapatkan
kendali dalam hidup saya. Semua yang saya sentuh berubah menjadi kotoran.
(Laki-laki berusia 47 tahun yang diberhentikan)
3. Treasured Objects
Objek
fisik dan berwujud; Namun, kepentingan mereka tidak berwujud. Objek yang
direkatkan adalah objek apa pun yang menghubungkan seseorang dalam kenyataan
atau ingatan dengan suatu hubungan penting atau beberapa aspek identitas.
Seringkali mereka adalah objek yang telah menjadi bagian dari sebuah keluarga
selama beberapa generasi, menghubungkan individu itu dengan bagian penting dari
masa lalu dan warisannya. Rumah keluarga yang dijual setelah kematian orang tua
seringkali merupakan kehilangan koneksi ke masa kecil. Kebakaran dan pencurian
seringkali merampas orang-orang dari benda berharga yang memiliki arti penting.
Kehilangan gaya hidup adalah kerugian tak berwujud dalam kategori ini, dan
sering terjadi setelah kehilangan dalam kategori lain seperti perceraian atau
kematian.
Kematiannya
adalah satu hal yang harus dilalui. Saya bahkan tidak ingat pemakamannya. Yang
paling sulit adalah menjual kemping. Saya tidak mampu menyimpannya. Saya bahkan
tidak tahu cara mengendarainya. Lagi pula, kemana saya akan membawanya? Itu
adalah kemping kami dan kami bepergian di sana selama 14 tahun terakhir. Saya
merasa seperti kehilangan lebih dari berkemah. (Janda berusia 67 tahun) Saya
tahu kami beruntung bisa keluar hidup-hidup; tetapi 23 tahun hidup saya baru
saja hilang. Saya tidak memiliki akta kelahiran, SIM, atau kartu jaminan
sosial. Seseorang memberi saya dompet untuk digunakan, tetapi saya tidak punya
apa-apa untuk dimasukkan. (Wanita 50 tahun, setelah total kehilangan rumah dan
harta benda setelah kebakaran).
4. Developmental losses
Kehilangan perkembangan adalah bagian alami
dari siklus hidup, dan seringkali tidak dapat dikenali. Pertumbuhan, wawasan,
dan pematangan adalah kerugian karena perubahan terlibat dan suatu bagian dari
diri harus dilepaskan. Jatuh tempo, penuaan, dan perubahan fisik bisa sangat
merugikan. Kerugian perkembangan sering bertambah atau membingungkan kerugian
yang lebih terlihat. Seorang anak berusia 65 tahun yang posisi kerjanya dihilangkan
juga menghadapi masalah perkembangan penuaan dan kemungkinan pensiun.
Seorang remaja yang 'dibuang' oleh kekasih
mungkin juga akan mengalami kerugian yang melekat pada tahap perkembangan itu.
Kerugian besar selama masa perkembangan remaja adalah melepaskan cara-cara yang
bebas dan menjadi bertanggung jawab. Dan untuk anak-anak yang kehilangan orang
lain yang signifikan karena kematian, proses kesedihan dapat merentang tahap
perkembangan mereka. Untuk anak-anak, pada setiap tahap perkembangan baru,
kehilangan akan dievaluasi kembali dan makna baru akan diintegrasikan. Kerugian
perkembangan dapat terjadi dalam berbagai bentuk:
Selama
20 tahun saya bertanggung jawab atas seluruh departemen. Dalam reorganisasi
baru saya adalah bagian dari komite. Saya bahkan tidak punya kantor pribadi
lagi. Saya 58. Saya tidak dapat menemukan posisi di tempat lain. Saya merasa
terjebak dan terlalu tua untuk melakukan apa pun tentang situasi saya.
(Eksekutif wanita berusia 58 tahun) Saya tidak tahu apakah saya bisa mengatasi
masalah tumbuh dewasa. Saya sangat stres sekarang. Saya pikir itu hanya akan
menjadi lebih buruk karena setelah saya lulus saya harus mendapatkan pekerjaan
dan bertanggung jawab untuk mengurus diri sendiri. Jika saya tidak bisa
mengatasi stres saat kuliah, bagaimana saya bisa menjadi orang dewasa?
(Perempuan 20 tahun).
Kategori kerugian tumpang tindih. Gambar 1.1 berfungsi sebagai alat bantu visual yang memungkinkan konselor untuk mendidik klien tentang kehilangan dalam kehidupan yang mungkin tidak dianggap sebagai kontributor pengalaman duka saat ini. Matriks ini pertama-tama akan digunakan sebagai alat penilaian oleh konselor, karena ia mendengarkan kerugian masa lalu, sekarang, dan potensial di masa depan yang akan mempengaruhi dan berdampak pada masalah kerugian yang muncul. Beberapa sesi dalam proses konseling, kemudian dapat digunakan sebagai alat pendidikan dalam membantu klien untuk merefleksikan kehidupannya dan mendapatkan wawasan tentang sifat kehilangan yang meresap. Contoh kasus di seluruh buku akan menawarkan kemungkinan tambahan.
2.3.3
Perspectives
on Loss
Konselor membutuhkan kerangka kerja untuk lebih
memahami pengalaman kehilangan dan kesedihan. Kerangka kerja ini menjadi alat
holistik yang memungkinkan seseorang untuk mendapatkan akses yang lebih penuh
ke dunia kesedihan pribadi klien dan pengalaman uniknya. Harus diingat bahwa
tidak ada dua orang yang akan mengalami peristiwa kehilangan yang sama dengan
cara yang sama. Kerangka kerja kami terdiri dari beberapa perspektif, termasuk
filosofis, spiritual, psikologis, sosiologis / budaya, dan fisik. Penting untuk
menyadari berbagai perspektif ini dan bagaimana mereka memengaruhi kerangka
referensi dan pengalaman duka klien. Tidak semua perspektif dapat muncul atau
relevan pada satu waktu. Namun, beberapa mungkin muncul beberapa kali selama
proses dan lebih berpengaruh. Pengaruh yang diberikan dan kontribusi dari
setiap perspektif bisa positif atau negatif.
1. Philosophical perspective
Masalah filosofis selalu menjadi bagian dari
pengalaman duka. Bagaimana seseorang hidup dan sebelumnya berinteraksi dengan
dunianya tidak lagi masuk akal. Banyak pertanyaan tentang arti keberadaan
seseorang muncul. Perhatian pada kategori kehilangan beberapa aspek diri adalah
penting di sini. Berapa banyak dari diri yang diinvestasikan yang telah hilang
karena peristiwa ini merupakan masalah penting dalam membangun kembali? Apakah
individu ini mau dan mampu untuk melihat ke dalam dan menemukan dimensi diri yang
baru? Pertanyaan ini menjadi dasar penilaian berkelanjutan dan strategi
intervensi selanjutnya. Selain itu, hilangnya beberapa aspek diri juga membawa
perhatian pada fakta bahwa kematian menjadi personal dan nyata bagi para
penyintas. Seseorang tidak bisa lagi bersembunyi di balik jubah keabadian.
Perspektif ini memperkenalkan kesulitan kesendirian, ketidakberartian,
keputusasaan, tanggung jawab, dan kecemasan eksistensial. Dari perspektif
filosofis, seseorang dapat menganggap setiap peristiwa kehilangan dalam
kehidupan sebagai bagian dari proses akhirnya untuk mencapai kefanaan dengan
kematian kita sendiri.
Menghindari kesedihan setelah peristiwa kehilangan
atau perubahan apa pun dapat dipandang sebagai bagian dari kesulitan yang
dihadapi manusia dalam merenungkan isu-isu inti dari keberadaan mereka dan
akhirnya kematian. Setiap kerugian melibatkan perubahan dan pelepasan yang
perlu diproses. Ahli teori Ernest Becker (1973) menegaskan bahwa manusia dapat
hidup lebih penuh dan otentik ketika seseorang menghadapi kenyataan pamungkas
ini. Dia mendalilkan bahwa kecemasan yang dialami setelah kehilangan memiliki
ketakutan akan kematiannya sendiri pada intinya.
2. Spiritual perspective
Klien dipengaruhi oleh keyakinan spiritual mereka
(atau kurangnya keyakinan mereka). Ketika kategori-kategori kehilangan
dieksplorasi dan sejumlah kerugian diidentifikasi, seringkali pengamatan bahwa
ranah spiritual adalah satu-satunya jangkar emosional yang tersisa untuk
bertahan hidup. Kepercayaan akan akhirat sering kali menjadi alasan untuk
melanjutkan dan harapan untuk bersatu kembali dengan orang yang dicintai.
Namun, kepercayaan spiritual dan / atau ajaran agama yang terorganisir juga
bisa menjadi sumber rasa takut dan bersalah.
Seringkali individu mungkin percaya bahwa kehilangan
adalah tanda hukuman dari Tuhan untuk kesalahan yang telah dilakukan. Percaya
ini, rasa bersalah tambahan sering dikenakan pada kesedihan, dan yang berduka
dapat memiliki kecenderungan untuk melihat diri mereka sebagai buruk dan tidak
layak pengampunan atas kesalahan masa lalu. Pemahaman tentang perspektif ini
dalam kehidupan klien sangat penting. Selama masa kehilangan, kepercayaan yang
bertentangan atau kurangnya spiritualitas dapat menjadi masalah tambahan bagi
seorang individu.
Kurangnya spiritualitas memberikan pengaruh yang
berbeda. Meskipun rasa bersalah mungkin tidak dialami, sering kali ada perasaan
yang lebih mendalam tentang ketidakberartian dan kurangnya tujuan hidup yang
dirasakan. Mereka yang tidak percaya pada seseorang atau sesuatu di luar
dimensi manusia sering menyatakan penyesalan secara verbal bahwa mereka tidak
memiliki apa pun untuk 'bertahan' atau 'jatuh kembali' selama masa kehilangan
ini. Banyak yang menyatakan bahwa mereka iri dengan kekuatan dan kenyamanan
yang disediakan oleh iman dan harapan bagi mereka yang memiliki rasa koneksi
spiritual dan kepercayaan.
Meskipun perspektif filosofis dan spiritual tumpang
tindih, ada beberapa perbedaan. Ketika mempertimbangkan perspektif ini, ada
lebih banyak fokus pada hubungan individu (atau ketiadaan) dengan Tuhan,
makhluk yang lebih tinggi, atau kesadaran kosmik. Afiliasi dengan agama yang
terorganisir seharusnya tidak menjadi satu-satunya pertimbangan di sini. Banyak
yang menganggap diri mereka religius atau spiritual tetapi tidak berpartisipasi
dalam ibadat resmi komunitas. Negara bagian Jackson:
Agama memiliki banyak sisi, tetapi dalam ciptaan
kompleks yang merupakan bagian dari kesadaran religius, selalu ada pola yang
jelas dalam berusaha berbicara dengan kegelisahan yang mendalam di dalam diri
manusia yang tampaknya merupakan kejadian kematiannya ... Kecemasan biasanya
muncul ketika ada ancaman terhadap sistem nilai manusia. Agama berusaha untuk
menyediakan sistem nilai yang melawan ancaman itu dengan membuat manusia sadar
akan dimensi dirinya yang bukan hanya biologis atau kimia atau mekanis, tetapi
pada hakikatnya sudah ada unsur yang melampaui kematian dengan selaras dengan
yang tak terbatas dan abadi. Ini melakukan hal ini sebagian dengan memperluas
perspektif manusia sehingga ketika ia berada dalam kehidupan, ia melihat lebih
jauh dari itu. Agama berusaha memberikan kehidupan manusia status kosmis,
sehingga, di hadapan hal-hal yang mungkin membuatnya merasa tidak berdaya dan
putus asa satu tingkat, ia dapat naik melampaui peristiwa-peristiwa itu
sehingga terjadi kematian biologisnya dan ancaman eksistensial terhadap
keberadaannya. (1977: 78–9)
Sementara perspektif filosofis membawa pertanyaan
dan kecemasan eksistensial ini ke permukaan bagi seorang individu, upaya
spiritual untuk memberikan jawaban, arahan, pelipur lara, dan peluang potensial
untuk keabadian (yaitu, untuk hidup dalam kehidupan setelah mati).
3. Psychological perspective
Hilangnya beberapa aspek diri adalah masalah inti
untuk dieksplorasi. Jika seseorang telah menginvestasikan sebagian dari
identitas dan energinya, ini adalah kerugian yang harus diakui dan didukakan.
Termasuk dalam perspektif ini adalah hilangnya atau kompromi dari peran yang
berarti. Faktor yang berkontribusi meliputi kepribadian, gaya koping, ranah afektif
dan kognitif, pemicu stres saat ini, dan kesehatan mental secara keseluruhan.
Pertimbangan lain dalam perspektif ini adalah
gagasan bahwa hubungan tidak diciptakan secara linear. Raphael (1983) membahas
karya psikologis dari membatalkan ikatan yang menciptakan hubungan. Dia
membahas tugas kehancuran ini sebagai proses integral untuk membalikkan semua
yang telah dilakukan untuk membangun hubungan. Banyak lapisan yang
diinternalisasikan ke dalam citra multidimensi kompleks atau peran yang
dicintai sekarang ditinjau. Apalagi komponen emosional yang membuatnya bernilai
(positif) atau menyakitkan (negatif) juga harus ditinjau. Sampai seseorang
dapat mengatasi berbagai tingkat keterhubungan, sulit untuk mengatasi tugas dan
proses kesedihan yang normal. Contoh pedih dari hal ini adalah kesedihan orang
tua setelah kematian seorang anak. Lapisan-lapisan hubungan orangtua seringkali
kompleks dan saling bertentangan. Ada beberapa hubungan lain yang menuntut
investasi diri seperti itu dan memiliki potensi komplikasi setelah hubungan
berakhir. Perlu dicatat pada titik ini bahwa kematian bukan satu-satunya
kehilangan yang dapat memutuskan hubungan orangtua. Ketidaksepakatan orang tua
dan anak dapat berakhir dalam hubungan yang terputus, sehingga membutuhkan
proses kesedihan.
Seorang ibu yang putra dewasanya telah diasingkan
darinya selama lebih dari sepuluh tahun hanya bisa mengingat bocah lelaki tak
berdosa yang bermain sangat baik dengan yang lain. Dia memikirkan ini kenangan,
tidak akan membahas masalah selama masa remajanya, dan hidup untuk hari itu ia
pasti akan kembali padanya. Dia mengalami kehilangan yang luar biasa dan perlu
meninjau, berduka, dan merekonstruksi setiap aspek dan tahun hubungan mereka
dengan hati-hati. Ada lapisan pengalaman dan ingatan yang telah ditolak dan
dihindari. Beberapa lapisan terlalu menyakitkan pada saat itu (dan terus
berlanjut); dengan demikian, kenangan yang lebih menyenangkan dari masa lalu
dipilih dan difokuskan. Namun, kesedihan menuntut agar realitas yang
menyakitkan, dihindari ditinjau, didukakan, dan dilepaskan. Tanpa mengambil
bagian dalam proses ini, dia tidak dapat secara kognitif dan emosional untuk
mengintegrasikan semua aspek hubungan yang akan memfasilitasi penggabungan
putranya dalam memori yang sehat, dan mendorong resolusi kesedihannya.
Termasuk dalam perspektif psikologis ini adalah
konsep ketahanan. Ketahanan telah didiskusikan sebagai kapasitas manusia dari
semua individu untuk berubah dan berubah, apa pun risikonya; itu adalah
mekanisme self-righting bawaan (Lifton, 1994). Trauma, kehilangan, kesulitan,
dan sejenisnya menghadirkan tantangan besar bagi para penyintas. Steven Wolin,
MD dan Sybil Wolin, PhD (1993) menyatakan bahwa masyarakat Amerika beroperasi
dari 'model kerusakan' yang cenderung mengubah individu menjadi korban dengan membiarkan
mereka memikirkan trauma mereka, daripada pada potensi mereka untuk mengatasi
kesulitan untuk membangun kembali kehidupan mereka. Terapi memberikan
kesempatan untuk mengevaluasi ketahanan bawaan dan untuk mempromosikan perilaku
baru yang dibangun di atas kekuatan yang ada.
Strategi koping adalah inti dari konsep ketahanan
dan operasionalisasi proses yang diuraikan dalam DPM. Kerugian besar memungut
kemampuan untuk mengatasi secara efektif. Pembahasan DPM menyoroti perubahan
dan penyesuaian tambahan yang harus dipelajari oleh orang yang berduka untuk
mengatasi selama berkabung dan pemulihan. Stres bukan peristiwa kesatuan dan
koping adalah proses yang kompleks. Lazarus dan Folkman mendefinisikan dan
menguraikan strategi untuk mengatasi yang efektif. Coping didefinisikan sebagai
'upaya kognitif dan perilaku yang terus berubah untuk mengelola tuntutan
eksternal atau internal tertentu' (1984: 141). Tujuan dari coping adalah untuk
mengubah masalah yang menyebabkan kesusahan dan untuk mengatur emosi yang tertekan.
Dua kategori utama disarankan: fokus masalah dan fokus emosi. Kedua strategi
ini bermanfaat dan perlu digunakan secara bergantian sejak awal acara hingga
resolusi.
Pendekatan yang berfokus pada masalah memanfaatkan
strategi perilaku-kognitif dan melibatkan pengambilan tindakan untuk
menyelesaikan situasi yang sulit. Ketika strategi berhasil, ada perasaan baru
tentang locus of control internal dan self-efficacy. Strategi komplementer,
yang berfokus pada emosi, berkonsentrasi pada cara-cara untuk mengurangi emosi
yang kuat dan negatif. Pelepasan emosi yang sehat dan mencari dukungan
emosional dari orang lain memberikan kelonggaran dari situasi yang menyedihkan
dan kesempatan untuk membangun kembali sumber daya internal. Pengampunan,
sebagai konsep psikologis, sering merupakan bagian integral dari proses
kesedihan dan komponen kunci dalam pengembangan ketahanan.
Tanpa kemampuan untuk secara emosional melepaskan
ketidakadilan yang dirasakan dan nyata, orang tetap menjadi korban dan tidak
dapat menyelesaikan kehilangan mereka dan merekonstruksi kebermaknaan dalam
hidup mereka. Sifat beberapa kerugian sering membuat para korban selamat dengan
emosi negatif yang kuat dan pengalaman dilanggar. Sebelum awal 1900-an, konsep
pengampunan telah dibahas dengan baik di bidang filsafat dan agama, tetapi
tidak dalam psikologi. Saat ini, tidak ada konsensus untuk definisi tersebut.
Meskipun kurangnya kesepakatan ini, Thoresen et al. menawarkan definisi kerja
tentang pengampunan untuk dipertimbangkan:
Pengampunan interpersonal dapat dilihat sebagai
keputusan untuk mengurangi pikiran negatif, mempengaruhi, dan perilaku, seperti
menyalahkan dan marah, terhadap pelaku atau situasi yang menyakitkan, dan mulai
mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang pelanggaran dan pelaku. Pilihan
untuk melepaskan pengaruh negatif, kognisi, dan perilaku biasanya dapat terjadi
pada fase awal proses pengampunan, namun berbagai hasil dari pengampunan,
seperti berkurangnya kemarahan dan kesalahan, mungkin tidak terjadi selama
berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau mungkin bertahun-tahun. Lebih jauh,
pelaku tidak diharuskan dalam perspektif pengampunan ini untuk mengakui
pelanggaran, mencari pengampunan, atau melakukan penggantian kerugian. (2000:
255–6).
Memfasilitasi pengampunan dalam proses duka
memungkinkan para penyintas untuk menafsirkan kembali dan membingkai ulang
pengalaman negatif masa lalu dan saat ini untuk mengidentifikasi kekuatan
internal yang sudah ada sebelumnya yang akan mempromosikan rasa pemberdayaan
pribadi dalam menghadapi kesulitan saat ini. Augsburger (1981) mengemukakan
bahwa akar makna kata pengampunan menyiratkan suatu proses melepaskan.
Melepaskan bisa dilihat sebagai perjalanan (mirip dengan kesedihan) yang
melibatkan langkah-langkah tambahan yang mengharuskan bekerja secara otentik
melalui kemarahan, kesedihan, pengkhianatan, dan kehilangan kepercayaan untuk
secara bertahap melepaskan kepahitan dan permusuhan.
4. Sociological/cultural perspective
Perspektif ini sangat memengaruhi bagaimana
seseorang berduka atau gagal bersedih, dan mencakup dampak yang ditimbulkan
budaya seseorang terhadap yang berkabung. Aculture / masyarakat menetapkan
norma-norma, banyak di antaranya tidak terucapkan tetapi memberikan tekanan
halus (atau tidak terlalu halus) untuk kesesuaian dan resep untuk sistem dan
perilaku kepercayaan. Hari ini kita dipengaruhi oleh budaya masa lalu dan
sekarang, dan ketika kita melihat abad baru, ada bukti pergeseran ideologis dan
beberapa kembali ke kepercayaan dan perilaku sebelumnya. Ada pendapat yang
berkembang bahwa penekanan masa lalu pada rasionalitas ilmiah untuk jawaban di
abad ini telah menciptakan masalah baru yang membutuhkan solusi baru. Dalam
bidang kehilangan dan kesedihan, ada kesadaran yang berkembang tentang perlunya
sistem pendukung, penekanan baru pada spiritualitas (pandangan yang terutama
dipegang dari sudut pandang agama fundamentalis), dan kembali ke penggunaan
ritual selama masa-masa kehilangan dan transisi.
Dalam perspektif sosiologis / budaya, penting juga
untuk mempertimbangkan keluarga inti, keluarga asal, sistem pendukung (nyata
dan dipersepsikan), etnis, status sosial ekonomi, jenis kelamin, agama, dan
variabel lain yang penting bagi budaya dan kerangka seseorang. referensi.
Individu akan selalu merujuk pada faktor-faktor ini untuk memahami pengalaman
kehilangan. Selain itu, seringkali kurangnya sistem pendukung dan hilangnya
ritual agama dan etnis yang menimbulkan masalah saat ini untuk penyelesaian
kesedihan. Di masa lalu, latar belakang budaya bersama sering kali menyediakan
lingkungan yang tidak hanya menetapkan ritual berkabung, tetapi juga memupuk
proses kesedihan dalam komunitas keluarga dan teman yang dekat secara
emosional. Masyarakat yang berubah telah mengubah susunan komunitas ini.
Individu dapat secara kognitif merujuk ke akar mereka; Namun, dari sudut
pandang perilaku, ada sedikit kesempatan untuk memberlakukan ritual tradisional
tanpa ketersediaan keluarga besar atau budaya latar belakang.
Terakhir, masyarakat menjadi multikultural. Ini
adalah faktor yang mungkin memerlukan pendidikan tambahan bagi konselor untuk
memahami dunia klien dan menjadi efektif dalam proses. Masalah multikultural
adalah bagian yang melekat dari pengalaman banyak klien tentang kehilangan dan
kesedihan, dan sering dinegasikan atau dicabut haknya oleh konselor yang tidak
tanggap. Pelatihan konselor, di masa lalu, telah mencerminkan norma-norma
masyarakat dominan; diagnosis sering dipengaruhi oleh resep sosial dan budaya
masyarakat itu.
5. Physical perspective
Perspektif ini mencakup semua aspek biologi, fisiologi,
farmakologi, dan fungsi umum individu yang berduka. Dari perspektif medis,
Engel (1961) mengusulkan bahwa kehilangan dan resolusinya merupakan aspek
integral dari keseimbangan homeostatis. Dia memandang proses kesedihan sebagai
paralel dengan proses yang diperlukan untuk penyembuhan setelah penyakit fisik.
Engel tidak membuat patologi kesedihan. Ia memandangnya sebagai fungsi normal
yang membutuhkan waktu dan perhatian, dengan fokus berbeda pada tugas-tugas
emosional yang sulit. Kesedihan juga bisa menutupi dirinya dalam keluhan
somatik. Itu selalu penting untuk mengesampingkan masalah fisik, tetapi yang
berduka tidak akan berhasil jika mereka mencoba untuk menemukan jawaban dan
solusi hanya melalui diagnosis fisik dan pengobatan.
Studi kasus berikut adalah klien yang awalnya datang
untuk konseling empat bulan setelah suaminya bunuh diri. Pada saat itu
tujuannya untuk konseling adalah kesejahteraan ketiga putranya. Dia fokus pada
aspek pemulihan hidup mereka. Selain itu, dia telah berurusan dengan penyakit
kronis selama lebih dari 12 tahun. Tuntutan penyakit dan keprihatinannya
terhadap keluarganya membuatnya tidak menyadari dampak kesedihan pada hidupnya
selama lima tahun terakhir. Perjalanannya dalam konseling menggambarkan seorang
wanita yang ulet, yang tidak pernah menyadari kekuatan dan kemampuan batinnya.
Studi kasus menggambarkan proses yang dijelaskan dalam DPM, rekonstruksi makna,
dan perspektif psikologis; yang semuanya memberikan peluang untuk strategi
intervensi yang efektif.
2.3.4 Sifat-Sifat Loss
1.
Tiba-tiba (tidak
dapat diramalkan)
Kehilangan
secara tiba-tiba dan tidak diharapkan dapat mengarah pada pemulihan dukacita
yang lambat. Kematian karena tindak kekerasan, bunuh diri, pembunuhan atau
pelalaian diri akan sulit diterima.
2.
Berangsur-angsur
(dapat Diramalkan)
Penyakit
yang sangat menyulitkan, berkepanjangan, dan menyebabkan yang ditinggalkan
mengalami keletihan emosional (Rando, 1984)
BAB
III
PENUTUP
3.3
Kesimpulan
Dari
penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa hehilangan dapat didefinisikan
sebagai keadaan kehilangan atau tanpa sesuatu yang dimiliki seseorang, atau
kerugian atau kerugian dari kegagalan untuk mempertahankan, memiliki, atau
mendapatkan. Kesedihan adalah rasa sakit dan penderitaan yang dialami setelah
kehilangan; berkabung adalah periode waktu di mana tanda-tanda kesedihan
ditampilkan; dan berkabung, seperti yang dibahas oleh Raphael (1983), adalah
reaksi terhadap hilangnya hubungan dekat.
Dalam
Hidayat (2012), grieving (berduka)
adalah reaksi emosional dari kehilangan dan terjadi bersamaan dengan kehilangan
baik karena perpisahan, perceraian maupun kematian. Sedangkan istilah bereavement adalah keadaan berduka yang
ditunjukan selama individu melewati rekasi atau masa berkabung (mourning).
3.2
Saran
Sebagai
pemakalah saya menyarankan kepada setiap individu yang mengalami grief diharapkan mampu memulai kehidupan
yang lebih baik dengan melalui semua tahapan grief dengan baik, dan bagi yang belum bisa keluar dari tahap recovery diharapkan agar bisa segera
belajar menghilangkan trauma yang dirasakan supaya bisa kembali pada hidup yang
normal.
Diharapakan
dalam tulisan ini nantinya bisa digunakan sebagai pijakan untuk penulisan
bahkan penelitan selajutnya dan diharapkan bagi pembaca dan khususnya bagi
penulis sendiri bisa bermanfaat untuk diamalkan di kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Widiarti, D & Baidun, A. (2016). Pengaruh Modal Psikologis, Komitmen Organisasi dan Iklim Psikologis terhadap Kesiapan dalam Menghadapi Perubahan. TAZKIYA Journal of Psychology Vol. 4 No. 1: 89 – 102.
Humphrey, Geraldine M. & David G. Zimpfer. (2008). Counselling for Grief and Bereavement. London: SAGE Publications.
Sari, Rosi
Anita. (2015). Pengalaman
Kehilangan (Loss) Dan Berduka (Grief) Pada Ibu Preeklampsi Yang Kehilangan
Bayinya. Skripsi. Semarang: Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro.
Ana, Iin Nuri.
(2011). Hubungan Antar Kehilangan Dengan
Tingkat Depresi Pada Pengungsi Merapi dari Kecamatan Cangkringan Di Pengusian
Sleman Yogyakarta. Skrpsi. Yogyakarta: Studi Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan ‘Aisyiyah.
Fitria, Adina S.
(2013). Grief Pada Remaja Akibat Kematian
Orang Tua Secara Mendadak. Skripsi. Semarang: Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Semarang.
Komentar
Posting Komentar